Seorang anak sembilan tahun menatapi keelokan layang-layang yang baru
saja dibawa sang ayah dari kota. Ukurannya begitu besar, tidak seperti
layang-layang temannya. Ada kunciran di sisi kanan dan kiri, dan
terdapat ekor yang begitu panjang. Warna-warni kunciran dan ekor
layang-layang mengundang keceriaan sang anak.
Setibanya di tanah lapang, sang anak mendampingi ayahnya memainkan
layang-layang yang ukurannya lebih besar dari tubuh sang anak. Tiupan
angin kencang menerbangkan layang-layang elok ke angkasa. Kunciran dan
ekor terus berurai-urai membentuk irama gerak yang begitu indah.
Sesekali, sang anak mencoba berganti posisi dengan sang ayah untuk
belajar mengendalikan terbangnya layang-layang. Ia pun berdecak kagum.
Matanya berbinar menatapi keelokan layang-layang yang sedang terbang
tinggi di angkasa.
“Ayah,” ucap sang anak tiba-tiba. Sang ayah pun menoleh ke arah buah
hatinya. “Ayah, andai aku bisa seperti layang-layang. Bisa terbang
dengan begitu elok di angkasa sana, sambil memperlihatkan keindahan
kepada orang-orang di bawahnya,” tambah sang anak sambil terus menatapi
gerak-gerik layang-layang.
Mendengar ucapan itu, sang ayah pun membelai rambut pendek anaknya.
“Sebaiknya kamu tidak berandai untuk menjadi layang-layang, anakku!”
ucap sang ayah.