KOMPAS.com - Albert Einstein (1879-1955) bukan entomologis. Ia juga bukan peternak lebah. Namun, kutipannya yang dianggap kontroversial adalah tentang lebah.
Kutipan sang genius, penemu teori relativitas; konsepsi baru tentang waktu, itu adalah ”Kalau lebah menghilang dari permukaan bumi, manusia hanya punya sisa waktu hidup empat tahun. Tak ada lagi lebah, tak ada lagi penyerbukan, tak ada lagi tumbuhan, tak ada lagi hewan, tak ada lagi manusia.”
Kutipan apokaliptik di koran-koran besar dunia sejak tahun 1994 itu memicu perdebatan tentang otentisitasnya. Orang melupakan pesannya: tanpa jutaan organisme yang bekerja dalam konser kehidupan, biosfer tidak berfungsi. Tak ada oksigen untuk bernapas, air bersih untuk diminum, tanah subur untuk menanam, hasil yang bisa dipanen, dan makanan untuk dimakan.
Lebah menghilang
Tahun 2006, publik di Eropa dan Amerika Serikat dihebohkan laporan The Daily Telegraph tentang colony collapse disorder (CCD). Bank agribisnis, Rabobank, menyatakan, koloni lebah yang gagal bertahan pada musim dingin tahun 2011 di AS naik 30-35 persen dari 10 persen. Hal yang sama terjadi di Amerika Latin.
Di Jerman, Asosiasi Peternak Lebah menyatakan, populasi lebah menurun sampai 25 persen. Di beberapa wilayah, lebah bahkan menghilang tanpa bekas. Mereka menduga ada sejenis racun yang menghancurkan koloni-koloni lebah, selain meluasnya penggunaan benih transgenik yang melemahkan sistem tubuh lebah dan membunuhnya.
Profesor Keith S Delaplane dari Departemen Entomologi University of Georgia, Athens, AS, dalam artikelnya, ”On Einstein, Bees and Survival of Human Race” (2010), menulis bahwa hancurnya koloni lebah tak hanya menjadi keprihatinan peternak lebah. Hal terpenting bukan madu, melainkan penyerbukan, dan terkait pasokan pangan.
Meskipun demikian, pernyataan Einstein tetap dianggap berlebihan. Bukankah tanaman pangan seperti jagung, gandum, dan padi diserbuki oleh angin? Benarkah kehidupan manusia bergantung pada lebah?
Produk karbohidrat seperti jagung, gandum, dan padi adalah bahan pangan penting, tetapi manusia butuh keragaman makanan.
Entomologis SE McGregor dalam Insect Pollination of Cultivated Crops Plants (1976) menyatakan, ”Sepertiga dari makanan kita, langsung atau tak langsung, bergantung pada produk dari tanaman yang diserbuki serangga. Lebah madu berperan atas tiap kunyahan ketiga dari makanan yang kita kunyah.”
Semakin penting
Sejak tahun 1976 sudah diperkirakan, ekonomi dunia akan dipicu perdagangan daging sapi, produk susu, minyak biji-bijian, dan buah-buahan. Hasil pertanian dan peternakan semakin menjadi santapan penting manusia meski tak bisa digeneralisasi.
Oktober tahun lalu, National Academy of Sciences mengindikasikan, sektor pertanian AS terlalu bergantung pada lebah madu sebagai penyerbuk. Reuters melaporkan, produksi pertanian AS yang bergantung pada lebah mencapai 15 miliar dollar AS per tahun, hampir sepertiga produk pertanian pangan di AS.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sepanjang 1961-2006 produksi makanan global dari tanaman yang diserbuki hewan—80 persennya oleh lebah madu—berkisar 5 persen di negara maju dan 8 persen di negara berkembang.
Delaplane menulis, 75 persen tanaman di dunia mengambil manfaat sampai tingkat tertentu pada penyerbukan oleh hewan dan hanya 10 persen dari 75 persen tergantung sepenuhnya dari penyerbukan oleh hewan.
Akan tetapi, kebutuhan pada bahan makanan dari tanaman yang diserbuki hewan terus tumbuh, dari 3,6 persen tahun 1961 menjadi 6,1 persen tahun 2006. Semakin banyak orang suka es krim, tar blueberry, cokelat almond, kopi, dan berbagai jenis buah.
Maka Indeks PBB tentang Harga Pangan menjadi semakin penting untuk mengetahui seberapa risiko berkurangnya lebah madu memengaruhi ketahanan pangan.
Kendati demikian, karena tanaman yang bergantung pada penyerbukan hewan cenderung rendah tingkat produksinya dibandingkan yang tak bergantung pada penyerbukan, bahkan jauh lebih rendah dibandingkan hasil tunai pengerukan perut bumi dan penggundulan hutan, habitat mereka makin terusik.
Jaring kehidupan
Perubahan iklim yang dampaknya makin jelas menjadi ancaman paling serius terhadap kehidupan. Sebagian besar dipicu keserakahan manusia yang membongkar perut bumi, menguras lautan, mencipta dan menggunakan bahan kimia dan benih rekayasa genetika dalam pertanian, serta membangun infrastruktur yang merangsek ke hutan. Hasil ikutannya adalah serbuan spesies asing, polusi, kekeringan, dan bencana, yang menghancurkan habitat satwa dan serangga liar.
Di Molo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, sampai akhir tahun 1990-an, sarang lebah bergelantungan di ranting-ranting pohon madu. Lebah bahkan membuat koloninya di batu.
Namun, pembongkaran batu marmer di gunung-gunung batu yang makin eksploitatif sejak tahun 2000-an menghancurkan bukit- bukit hijau. Keindahan daerah pegunungan tersubur di wilayah Timor dengan keragaman hayati di hutannya habis dilumat.
”Lebah hilang, sekitar 75 persen pohon madu habis,” ungkap Nifron Ba’un (33). ”Semua hancur, termasuk ritual adat dan kegiatan yang terkait alam. Kebersamaan hilang, tak ada lagi yang dipanen bersama.”
Kompleksitas yang menakjubkan dan keelokan alam adalah hasil dari rentang panjang evolusi, dirayakan berbagai komunitas di pojok-pojok bumi dengan berbagai ritual yang digolongkan sebagai sisa-sisa pagan.
”Kami sudah melakukan ritual memanggil lebah, tetapi belum berhasil. Masyarakat makin tak yakin pada ritual adat karena dikafirkan agama,” ujar Nifron.
Dalam penghancuran alam, pernyataan Einstein sungguh telak, ”Hanya dua hal yang abadi, semesta dan kebodohan manusia. Namun, aku tak yakin dengan yang pertama.”
Sumber :Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar