Selasa, 22 Februari 2011

Denny Indrayana: Jangan Beri Ruang Kejahatan Konspiratif


Bagi Denny Indrayana, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, yang juga Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN, “nyanyian” Gayus Holomoan Partahanan Tambunan usai sidang vonis beberapa waktu lalu sama sekali bukan hal yang mengagetkan. Ketika comfort zone para mafioso terusik, kata Denny, counter attack akan terjadi.

Tentu saja tidak akan ada kata menyerah untuk menghadapi ulah mafia hukum tersebut. Begitu juga dalam kasus Gayus Tambunan. Meski rumit, kompleks, penuh tantangan dan benturan kepentingan, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini menyatakan Satgas selalu optimistis mafia hukum dan pajak bisa terbongkar. Berikut wawancara dengan Denny Indrayana:

Bagaimana perkembangan terakhir penyelesaian kasus Gayus setelah hampir dua minggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan 12 instruksi presiden?

Kita sudah beberapa kali melakukan pertemuan-pertemuan, rapat-rapat  di kantor Wakil Presiden (Wapres), internal satgas sendiri, juga dengan Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, hukum, dan Keamanan) yang pada intinya melaksanakan perintah Presiden. Sebagian besar sudah menjadi pemberitaan.

Banyak pihak beranggapan, kepolisian dan Kejaksaan tak rela kasus Gayus  diselesaikan lembaga lain, seperti KPK. Bahkan Satgas juga tidak mau ketinggalan. Ada apa dengan kasus ini?

Ini perkara yang kompleks, tidak sederhana karena karakteristik kasusnya sendiri. Kasus korupsi, utamanya suap yang tidak tertangkap tangan, yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tentu tingkat kesulitan untuk membuktikannya juga meningkat. Yang kedua, kesulitan cara penanganannya sendiri, manajemen penanganannya, bukan dari sisi teknis hukum.

Utamanya dari sisi kemungkinan potensi benturan kepentingan. Kasus Gayus ada dimensi mafia pajak dan mafia peradilan. Terutama pada sisi mafia peradilan. Dia sudah mengkontaminasi hampir semua institusi penegak hukum, mulai dari hakim, jaksa, polisi, termasuk advokat, dan  calo perkara. Meskipun kepolisian terus berusaha keras, untuk mengungkap tuntas, adanya potensi benturan kepentingan itu menjadi faktor yang mengganggu.

Dalam proses penanganan hukum, bila ada benturan kepentingan, seorang lawyer harus mundur, nggak boleh masuk. Nah, disitulah arti pentingnya keikutsertaan KPK. Karena, dalam kasus Gayus KPK belum, dan mudah-mudahan tidak, terkontaminasi permainan kasus Gayus.

Itu alasan Satgas lebih setuju kalau kasus Gayus ditangani KPK?

Jadi dalam kasus Gayus, posisi awal Satgas adalah pada tangal 18 Maret 2010, saat Gayus pertama  kali bertemu dengan Satgas, saat itulah saya bersama mas Ota (Mas Achmad Santosa) menggali informasi kasus ini. Malam harinya saya datang ke KPK, agak menjelang tengah malam, dan kami menyampaikan informasi terkait Gayus. Sederhananya kami melaporkan ke KPK. Ini ada kasus tolong tangani. Jadi bukan baru sekarang saja Satgas mendorong keterlibatan KPK. Pertama kali kami mendapat informasi dari Gayus, pertama kali kami bertemu Gayus, malam itu juga kami bertemu dan melapor kepada KPK.

Kenapa Anda langsung ke KPK, bukan ke polisi?

Karena hal mendasar tadi yang sudah saya sebut. Ada potensi benturan kepentingan yang dalam teori dasar penanganan hukum mengatur, siapapun yang punya benturan kepentingan harus menjaga jarak dari suatu kasus. Kan jelas, ada oknum-oknum polisi yang terlibat dalam kasus Gayus.

Sampai saat ini KPK kan masih pakewuh untuk mengambil kasus ini. Padahal ada indikasi gratifikasi dan suap  yang bisa diambil alih?

Begini, kasus Gayus itu minimal ada empat tindak pidana. Ada tindak pidana umumnya, itu yang paling  gampang  pemalsuan paspor, biar saja ditangani polisi. Karena yang lain tidak punya yurisdiksi di situ. Yang kedua, tindak pidana pencucian uang itu menurut UU ditangani kepolisian. Tiga, tindak pidana pajak serahkan kepada penyidik pajak. Empat, yang paling penting, tindak pidana korupsi, serahkan kepada KPK.

Jadi mestinya gunakan saja aturan pembagian berdasarkan undang-undang itu. KPK dengan segala kewenangannya saya yakin bisa mengusut dengan profesional, sekaligus untuk menghindari benturan kepentingan untuk kasus korupsinya.
Tindakan pidana pajak, yang menjadi penyidik adalah penyidik pajak, silakan dirjen pajak masuk ke situ.

Tindakan pidana pencucian uang, polisi silakan dibantu oleh kejaksaan. Tindakan pidana umum ditangani polisi.  Itu formulasi penanganan perkara yang sudah diatur dengan  jelas dalam UU.

Kejaksaan sudah menerima berkas Gayus terkait gratifikasi Rp27 miliar dan hasil mafia pajak Rp74 miliar. Satgas optimis ini bisa terungkap dan terselesaikan?

Kalau ditanya soal optimisme, itu pertanyaan retorik. Kasus Gayus seperti yang saya katakan tadi tidak mudah. Tapi kita semua harus yakin, harus optimis. Pembuktiannya tentu tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak dapat dibuktikan. Bedakan antara sulit membuktikan dan tidak terbukti. Itu dua hal yang dari kacamata hukum sangat berbeda. Kasus ini sulit dibuktikan, memang betul. Karena pembuktian kasus korupsi selalu sulit kalau tidak tertangkap tangan.  Kalau kita selalu saja tidak yakin, itu awal dari kegagalan. Menjawab pertanyaan anda, apakah masalah ini bisa diselesaikan? Tentu. Kita harus yakin. Harus optimis.

Saya contohkan penanganan kasus Bahasyim Assifie. Jaksanya terindikasi melakukan tindak pidana dengan menerima sesuatu (uang) dari pihak Bahasyim. Tuntutan yang awalnya 5 tahun langsung digandakan oleh Jaksa Agung menjadi 15 tahun.
Tanggapan Anda?

Bukahlah hal aneh sama sekali adanya penyimpangan dalam penanganan perkara korupsi. Potensi penyimpangan selalu ada. Tapi tidak lalu menyebabkan kita menjadi tidak yakin, apalagi pesimis. Terus apa saran dari Anda? Mundur? Jangan! Jangan pernah mundur sejengkalpun.

Apalagi, kalau terkait kasus itu, saya dengar KPK sudah menangani. Penanganan perkaranya tentu tidak mudah. Tapi kenapa harus selalu dilihat dari sisi masalahnya. Orang optimistis itu melihat peluang, menghitung tantangan. Kalau yang Anda hitung tantangannya terus, Anda akan pesimistis. Harus dilihat pula peluangnya, agar kita mempunyai harapan, terus memiliki optimisme.

Mari kita terus berpikir seimbang. Oh, ini peluang pengungkapannya membesar. Apalagi setelah ada KPK masuk. Jangan terlalu pesimistis. Jangan terlalu memberi ruang lebih pada masalah-masalah. Berikan juga ruang yang cukup pada peluang yang ada dan sekarang peluang itu membesar. Dengan adanya KPK ataupun dengan adanya satgas.
Sebagai contoh, kasus Gayus, pada saat Satgas belum lahir hasilnya apa? Gampang sebenarnya membandingankan penanganan perkaranya dengan setelah adanya Satgas.

Sebelum ada Satgas, Gayus divonis bebas (karena) yang terjadi adalah praktik mafia peradilan. Gayus membagi-bagikan uangnya kepada para oknum di institusi penegak hukum. Setelah ada Satgas? Adakah perbaikan? Tentu bisa dilihat ada polisi yang terjerat menjadi tersangka. Ada juga jaksa yang terkena, hakim juga, advokat juga, calo perkara tidak ketinggalan.

Dengan pantauan publik lewat media, dan evaluasi serta pemantauan Satgas, paling tidak  dibandingkan dengan kasus Gayus yang pertama, kali ini penanganan perkaranya ada perbaikan. Memang belum selesai, dan sama sekali belum memuaskan. Tetapi kan bisa diperbandingkan. Bagaimana sebelum ada Satgas, kasusnya berujung pada Gayus bebas dan uang mengalir kemana-mana. Setelah ada Satgas relatif ada perbaikan yang patut juga diapresiasi. Agar kita tetap punya harapan dan tidak terus pesimis.

Tapi kenapa justru sebagian pihak, mendesak dan meminta Presiden membubarkan Satgas?


Yang minta Satgas dibubarkan ada beberapa kalangan, karena Satgas tidak hanya menangani kasus Gayus. Kita menangani masalah mafia pajak, tentu kemudian ada yang terganggu di sana. Kita menangani mafia peradilan, pasti ada yang kurang nyaman di situ. Kami menyentuh masalah mafia hutan, pastinya ada juga yang terganggu. Satgas masuk ke wilayah tambang utamanya batubara di Kaltim (Kalimantan Timur) dan Kalsel (Kalimantan Selatan) banyak mafia marah karenanya. Sejarah perjuangan pemberantasan korupsi dan mafia hukum itu selalu mendapatkan respons balik, biasanya berupa tiga serangan.

Satu, serangan hukum kepada institusinya seperti KPK.  UU KPK-nya duji di MK (Mahkamah Konstitusi), minimal delapan kali. Kewenangannya diuji. Ada yang minta KPK dibubarkan. Untungnya MK masih memutuskan kewenangan dan lembaga KPK tidak bertentangan dengan UUD.

Satgas telah pernah diuji keppres-nya di hadapan MA (Mahkamah Agung), untungnya di MA mengatakan dasar hukum Satgas ini tidak bisa diuji di MA, sehingga permohonan pengujiannya diputuskan tidak bisa diterima. Serangan kedua, adalah personal attack berupa kriminalisasi kepada pejuang antikorupsi dan mafia. Contoh paling mutakhir adalah kasus yang menjerat dua pimpinan KPK yang berujung dengan deeponering.

Satgas bagaimana? Sekarang sudah mulai muncul, ada wacana  menggugat, minta agar saya ditangkap, dilaporkan ke polisi. Itulah risiko perjuangan.

Ketiga, serangan fisik, yang paling terkenal adalah pada aktivis ICW Tama Satya Langkun, dan kasus yang menjadi utang utama adalah pembunuhan almarhhum Munir.

Jadi kalau ada upaya pembarantasan mafia hukum yang dilakukan satgas, kemudian direspon dengan teriakan-teriakan pembubaran, itu sudah pasti. Itu suatu keniscayaan. Saya justru mensyukuri. Berarti Satgas telah berhasil menganggu zona nyaman para pelaku mafia hukum.

Dari testimoni Gayus, Satgas disebut justru memerintahkan untuk menyebut tiga perusahan Group Bakrie yang memberikan uang Rp28 miliar?

Satgas tidak pernah mendengar Gayus menyebutkan perusahaan di luar tiga itu. Tidak pernah disampaikan ke Satgas.

Bisa mengungkap di luar tiga perusahaan itu?

Pemahaman beberapa orang keliru karena tidak memahami kronologis dengan detail, yang ditangkap informasi sepotong-potong. Kalau terkait wajib pajak, yang diinformasikan ke Satgas hanya tiga perusahaan itu. Di luar tiga itu, Gayus tidak pernah mengatakan kepada kami. Jadi Satgas tidak boleh dong mengarang-ngarang ada perusahaan lain. Kalau terkait wajib pajak yang diinformasikan ke Satgas ya tiga perusahaan itu, sewaktu pertemuan di Singapura, saya dan Mas Ota. Kalau kemudian Gayus membantah hal itu, saya tidak mengerti mengapa. Tanyakan saja ke Gayus.

 Di luar  tiga itu, Gayus tidak pernah cerita kepada kami. Sehingga Satgas tidak bisa mengarang-ngarang cerita bahwa dalam perusahaan-perusahaan lain. Kemudian pada saat di-BAP-kan, kabarnya Gayus menyebutkan 149 di hadapan polisi. Sekarang berkembang menjadi 151, bahkan saya dengar telah pula menjadi 155 perusahaan. Angkanya ini memang berubah-ubah.

Tapi satgas tidak meminta keterangan Gayus di luar perusahaan Bakrie?

Dia tidak menjawab, yang dia sebut ya wajib pajak ketiga perusahaan itu. Ada transkripnya. Pembicaraan Satgas dan Gayus itu direkam sehingga mudah bagi kami untuk membuktikan. Kebetulan rekamannya audio. Silakan cek dengan teknologi, keaslian suaranya.

Komisi III DPR disebut-sebut memiliki rekaman percapakan antara Anda dengan Gayus yang selama ini belum pernah diputar?

Oh bagus sekali. Silakan, dibuka saja. Saya justru senang sekali.

Mereka juga berencana mengkonfrontir Anda dengan Gayus?

Itu sebenarnya hak anggota DPR dan bagian dari upaya untuk lebih memahami masalahnya. Meskipun di sisi lain, saya pribadi merasa tindakan semacam itu kurang tepat. Kalau  kita menganalisis suatu masalah, semestinya tidak hanya dengan mengalir begitu saja. Harus ada logika, harus ada rasio akal sehat. Mengkonfrontasi Satgas dengan Gayus itu secara pemikiran biasa mungkin bisa dianggap biasa. Tapi itu pikiran yang terlalu prosedural. Lihatlah pula misalnya rekam jejak. Siapa Kuntoro Mangkusubroto, siapa Ota, siapa Yunus Hussein, nggak usahlah dilihat siapa Denny Indrayana.

Lalu lihat siapa Gayus, yang mana di antara Satgas dan Gayus Tambunan yang  telah divonis korupsi oleh pengadilan. Yang mana di antara Satgas dan Gayus yang telah memalsukan dokumen paspor dll, yang telah menyuap aparat penegak hukum, yang mana yang menyuap di tahanan agar bisa keluar, yang  mana bisa keluar ke Bali dan  nonton tenis. Apakah konfrontasi itu masih dianggap perlu? Kalau tetap juga dianggap perlu, silakan. Tentu itu hak anggota DPR.

Gayus, seusai pemeriksaan di Mabes Polri sempat melontarkan kalimat “Satgas Baik Denny Buruk”. Anda disebut sering mengatasnamakan Satgas dalam bebagai kegiatan, tapi sebenarnya untuk kepentingan pribadi Anda. Tanggapanya?

Contohnya apa?

Di sini kan banyak kejadian, ada testimoni Gayus yang mengatakan kepergiannya ke Singapura karena perintah Anda. Bahkan Anda sendiri yang nantinya akan menjemputnya?

Sudah dijawab satgas Rabu lalu (19/1/2011), Gayus pergi ke Singapura tanggal 24 Maret. Kami tahu tanggal itu belakangan. Memang sebelum dia pergi Satgas bertemu dia bersama tim asistensi. Kita punya rekamannya. Rekaman itu akan dengan mudah membuktikan tuduhan Gayus tidak berdasar, baseless. Itu bukti pertama.

Bukti kedua saya punya percakapan BBM dengan Gayus. Di percakapan itu, saya tanyakan di mana dia. Meminta dia agar mau menyerahkan diri. Gayus tidak menjawab dia ada dimana.

Beberapa orang mempersoalkan originalitas BBM tersebut. Ada yang mengatakan sudah diedit. Karena kemudian ditampilkan dalam format agar mudah dibaca. Ada juga yang mengatakan BBM itu tidak bisa disimpan. Ada yang mengatakan harus ke Kanada minta ke RIM (Research In Motion). Padahal penyimpanan BBM itu hanya masalah pengaturan opsi di BB. Pembicaraan BBM bisa disimpan. Sama saja seperti saat kita  menyimpan file atau data pada hard disk atau flash disk. Jadi bahwa beberapa orang tidak tahu bagaimana cara menyimpan BBM, tidak boleh dong langsung berkesimpulan bahwa yang bisa menyimpan pasti keliru.

Mengapa saya simpan BBM itu? Karena saya melaksanakan tugas sebagai anggota Satgas, bukan sebagai pribadi. Sehingga saya perlu dokumentasi itu. Dan ternyata bermanfaat bukan, karena ternyata sekarang Gayus berbalik. Kalau tidak ada rekaman-rekaman itu, rekaman audio pertemuan kami, atau rekaman BBM saya dengan Gayus, maka saya tidak punya data atau alat untuk membantah. Kita harus selalu mengantisipasi. Karena setiap kerja Satgas itu punya potensi dibeginikan. Punya potensi di bolak-balik faktanya oleh pelaku. Sehingga kita harus selalu siap, misalnya dengan data rekaman, BBM, serta orang-orang yang ikut pertemuan juga bisa mengkonfirmasi bahwa apa yang dikatakan Gayus baseless, tidak berdasar.

Sebenarnya, berapakali bertemu Gayus?

Total enam kali, tiga kali di sini, kantor saya. Yang keempat selagi di Singapura, sekali di Rutan Pondok Bambu, dan terakhir waktu di persidangan, di kala kami menjadi saksi.

Berkas perkara kasus Gayus lainnya akan segera dilimpahkan ke pengadian dan itu berarti Satgas akan sering berbenturan. Kesiapan Satgas?

Kita tidak hanya berbicara Gayus, kita berbenturan dengan siapapun yang terus melakukan praktik mafia hukum dan peradilan. Kalau tidak siap, kita tidak boleh menerima amanah ini dari negara melalui Presiden SBY.

Setelah Gayus mengeluarkan testmioni, Presiden kok sepertinya kaget?

Presiden telah bertemu Satgas langsung pada hari Sabtu lalu (22/1/2011), sebelum Beliau berangkat (ke India). Rabu, Gayus mengatakan testimoni, Kamis kami  menyerahkan laporan tertulis, Sabtu bertemu Presiden.

Kalau bertemu Presiden, ada waktu khusus untuk Satgas?

Di dalam keppresnya ada laporan kepada Presiden, yang rutin itu tiga bulanan. Di luar itu, kita bisa bertemu Presiden, insindental tergantung keperluannya, kebutuhannya.

Banyak pihak menuding Anda sering jalan sendiri dan justru merepotkan Satgas, Gayus juga menuduh Anda sering mengalihkan isu. Benarkah?

Soal jalan sendiri, Alhamdulilah saya kemarin bertemu dengan Pak Kuntoro, saya laporkan update. Terus menanyakan pendapat beliau. Pak Kun bilang jalan saja terus, tidak ada masalah. Tentu saja dengan terus berkoordinasi, sebagaimana selama ini terus dilakukan. Memang di antara anggota Satgas, saya yang paling muda dan saya pikir dalam memberantas mafia hukum itu kita harus tetap dalam koridor, dengan tetap membuka ruang inovasi. Kalau kita tidak punya inovasi, sulit untuk bisa membongkar kejahatan-kejahatan konspiratif yang dilakukan oleh-oleh orang berdasi, kejahatan kerah putih.

Bagaimana soal tweet pic yang Anda lakukan saat meng-upload paspor atas nama Sony Laksono?

Pertama, perlu dicatat saya tidak memberikan informasi baru, informasi yang ada dalam paspor itu yang saya tweet pic itu sehari sebelumnya sudah disampaikan oleh Menkumham Patrialis Akbar. Pak Patrialis bilang, ada paspor dengan nama Sony Laksono, yang fotonya mirip Gayus. Informasi itu sudah disampaikan Menkumham kepada media.

Tapi kan  tidak memberikan gambarnya?

Informasinya sudah sampai ke media. Lalu sehari setelahnya ditunjukkan Pak menteri kepada saya. Saya bilang ke pak Patrialis, pak saya foto ya. Terus  ada bantahan kalau Gayus tidak keluar negeri. Untuk mengakselerasikan agar infonya tidak kemana-mana dan bahwa memang betul Gayus keluar negeri, maka saya kirim twit foto itu. Justru untuk menguatkan informasi yang sudah disampaikan Menkumham sebelumnya.

Mengapa di Twitter bukan di media?

Pertanyaan itu juga ditanyakan Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution, pengacara Gayus). Bang Buyung mengatakan: Denny saya setuju informasi itu disebarkan ke publik untuk memenuhi the right to know dari publik. Tapi mengapa di Twitter, kenapa tidak melalui preskon (konferensi pers)? Supaya yang tahu tidak hanya Twitter, tetapi juga masyarakat banyak melalui media.

Saya bilang, dengan segala hormat Bang buyung, meng-tweet  itu adalah cara preskon yang paling efektif, apalagi di era internet sekarang ini. Dengan preskon biasa justru tidak efektif. Menghabiskan banyak waktu, cukup di-tweet, teman-teman media kurang dari 1 menit  sudah meminta konfirmasi. Ini zaman teknologi modern di mana social media sangat efektif untuk menyebarluaskan informasi. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa tidak lewat media? Saya katakan, loh twitter itu media. Kenapa tidak preskon, loh di twitter itu banyak sekali akun jurnalis.

Itu yang saya maksud inovasi. Inovasi itu positif karena itu tidak melanggar. Tunjukkan kepada saya aturan hukum yang saya langgar. (Presiden Amerika Serikat) Barack Obama punya akun Twitter. Rekan saya Andi Arief (staf khusus Presiden bidang penanganan bencana alam) tiap hari dia menginformasikan tentang gempa. Terus, kenapa saya tidak boleh menginformasikan suatu hal untuk mempercepat penuntasan masalah mafia hukum lewat akun saya?

Kenapa lewat akun Satgas antimafia kalau tujuannya untuk menyebarluaskan informasi?

Satgas antimafia itu followers-nya sedikit. Followers saya sudah 27.000. Memang inovasi kan pasti menimbulkan diskusi, perdebatan tapi sepanjang tidak ada aturan hukum yang saya langgar, yang saya lakukan adalah langkah penyebaran informasi.

Ada peralatan khusus milik Satgas dalam memperlancar tugasnya?

Kalaupun ada alat khusus berkaitan dengan tugas Satgas, tentunya tidak perlu disampaikan pada wawancara ini. Yang jelas semua cara kerja kami sesuai dengan tugas-kewenangan kami dan aturan perundangan yang berlaku.

Soal pengalihan isu? Ada yang menyebut BBM itu pengalihan isu?


Siapa yang pertama kali mengungkap soal BBM, siapa yang mengalihkan isu? Bukan Satgas yang pertama kali mengangkat soal BBM itu. Jadi salah besar mengatakan kami mengalihkan isu.

Tapi kan sepertinya isu Gayus terlalu lama ditangani tidak selesai-selasai, selalu muncul berbarengan dengan isu besar nasional seperti harga beras melambung, kenapa dikeluarkan berbarengan terkesan sengaja diirit informasinya?

Itu pikiran yang terlalu sederhana untuk kemudian dikatakan pengalihan isu. Buktikan dong kalau benar ada pengalihan isu. Ini kasus korupsi, KPK menangani kasus Century berapa lama? Gayus belum satu tahun. KPK menangani kasus cek pelawat, Century sudah bertahun-tahun dan dalam setiap kesempatan ada perkembangan besar selalu dibilang pengalihan isu.
  Siapa yang memulai mengangkat soal BBM? Sedari awal Satgas bilang bongkar mafia pajaknya, bongkar mafia peradilannya. Tiba-tiba muncul isu BBM saya dengan istri Gayus. Kita merespons? Tidak juga tuh. Kita tidak merespons selama beberapa hari karena Satgas setuju jika ditanggapi justru akan mengganggu konsentrasi.

Tapi kemudian kuasa hukum Milana mengeluarkan sedikit demi sedikit, sepotong demi sepotong (isi BBM) dengan framing, dengan bingkai berita yang tidak tepat, sehingga kemudian Satgas memutuskan, oke kita punya data lengkapnya, kita buka semua isi BBM itu.

Tentang BBM ini mulainya begini, Milana yang memulai pembicaraan. Minta agar kasus suaminya dibantu,dan saya menjawab secara normatif saja, kita upayakan yang terbaik, semoga yang terbaik, satu kalimat saja. Pada saat ada isu ke luar negeri, saya tanya kenapa keluar tahanan. Dia jawab, itu fitnah, tidak betul. Setelah Gayus mengaku memang ke Bali. Milana bilang ‘mas saya tertekan’, saya bilang ‘kamu tertekan karena kamu menutupi informasi’. Saya minta dia jujur saja, tidak berbohong. Kemudian beberapa orang bilang saya mengintimidasi. Sejak kapan meminta bicara jujur, tidak berbohong, jangan memakan uang hasil korupsi, karena itu haram, menjadi salah dan intimidasi? Aneh sekali.

Terkait tugas Anda sebagai staf khusus Presiden bidang hukum, pernah nggak Pak SBY mengeluhkan penanganan hukum di Indonesia atau selama ini apa yang dikeluhkan Presiden?

Tidak ada keluhan. Masalah hukum kita, masalah yang tidak sederhana tapi tidak bisa diselesaikan  dengan keluhan. Kita berdiskusi mencari solusinya, bagaimana yang terbaik, bagaimana penegakan hukum itu efektif dan terus berjalan baik, seiring dengan bekerjanya bidang-bidang lain, ekonomi politik. Berjalan sinergis, tidak saling mengganggu. Diskusi kita tentu intens, menarik dan pasti tidak  mudah, tidak sederhana, karena kompleksitas penegakan hukum pastinya cukup rumit.

Rintangan apa yang selama ini muncul dalam menjalankan tugas?


Pertama, Satgas tidak hanya menangani kasus, tapi juga pembenahan sistem hukum. Kita tidak hanya menangani Gayus, tapi kasus lain juga ada, meski pemberitaannya terus seputar Gayus. Banyak kasus-kasus yang menantang, untuk disebutkan beberapa di antaranya pada saat kita datang ke lapas (lembaga permasyarakatan) Pondok Bambu, terkait Artalyta Suryani, itu tidak sederhana, itu menantang. Kemudian kita masuk ke kasus Vincentius Amin Sutanto, terpidana kasus pencucian uang PT Asian Agri. Vincent adalah saksi pelapor kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri. Kalau kita lihat kepemilikan, ownershipnya juga tidak mudah.

Kasus penganiayaan karyawan PT Maritim Timur Jaya Susandi alias Aan. Kalau dilihat bahwa dia mengalami penganiayaan di Gedung Artha Graha dan gedung itu milik siapa? Grup mana, perusahaan apa? juga tidak sederhana, menantang juga. Saya juga mengadvokasi kasus rekening gendut polisi, sempat muncul  pemberitaan yang ramai ditanggapi waktu itu. Humas Kapolri saat itu menantang saya membuktikan keterkaitan rekening  itu  dengan mafia peradilan. Tentu saja kasus rekening itu tidak dapat dikatakan ringan.

Masuk ke kasus Gayus, siapa bilang ini perkara ringan? Lihat saja konskwensi-konsekwensi yang dihadapi Satgas. Jadi kalau anda bertanya, Satgas memang telah banyak mengganggu comfort zone mafia dong? Anda jawab sendiri sajalah, itu tadi sedikit contoh kasus yang Satgas tangani.

Merasa ada ketakutan?

Saya selalu meyakinkan diri saya untuk jangan merasa takut. Manusia itu punya ketakutan-ketakutan kalau dia tidak punya rasa takut berarti bukan manusia. Tapi ketakutan saya tidak untuk tugas pemberantasan mafia hukum, tapi ketakutan saya untuk hal lain. Saya takut melihat jurang yang dalam dari pinggirnya. Saya bisa loncat  tiba-tiba begitu ada ular di depan saya.Tapi saya tidak takut, dan saya akan hadapi konsekuensinya untuk melaksanakan tugas pemberantasan mafia. Nothing to lose lah. Jangankan hanya masalah posisi, materi, risiko hukum, bahkan nyawa sekalipun akan saya hadapi tanpa gentar sedikitpun.

Ancaman paling serius?

Nggak ada. Kalau SMS, telepon, fitnah, berita bohong tuduhan tidak berdasar, hal-hal begitu pastilah ada. Sejauh ini alhamdulillah kita tidak menghadapi  ancaman yang patut dirisaukan, dan mudah-mudahan seterusnya tidak ada. Kalaupun ada, ya kita hadapi saja. Sekali lagi, itulah risiko perjuangan melawan mafia.

Kembali ke situs media sosial, Anda sangat giat memanfaatkan untuk menyebarkan informasi?

Statistik mengatakan bahwa perkembangan media sosial sangat tinggi dan itu menjadi alternatif di luar cetak dan elektronik, hinga efektivitasnya juga sangat patut diperhitungkan. Pengalaman terakhir di Mesir menunjukan bagaimana media sosial berpengaruh pada kemungkinan jatuhnya rezim Husni Mobarak. Jangan main-main dengan media sosial.  Yang lain, media seperti ini menjadi alternatif di tengah adanya upaya untuk menguasai arus utama pemberitaan. Kepemilikan televisi, misalnya. Tanpa kontrol masyarakat yang baik, bisa menghadirkan infromasi yang manipulatif dan destruktif. Orang yang harusnya anti-korupsi tiba-tiba bisa menjadi koruptor, dengan pengaturan narasi, iringan musik tertentu, cuplikan-cuplikan gambar, itu  sangat bisa menghadirkan kesan dan pesan yang keliru serta tertanam di pikiran pemirsa. Kalau dulu media alternatif adalah pers mahasiswa, sekarang yang tersedia di luar media cetak dan elektronik adalah social media salah satunya Facebook. Pengguna twitter Indonesia adalah kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Kita yang tertinggi di Asia. Jadi, kita bisa menyampaikan informasi alternatif melalui media alternatif ini.

Rencana ke depan? Mungkin cita-cita yang belum tercapai?

Saya beruntung dalam umur 38 tahun, belum 40 tahun, punya berkah punya limpahan rahmat yang luar biasa. Profesi saya akademisi, dan Alhamdulilah, per September 2010 saya sudah menjadi  guru besar hukum tata negara di UGM. Secara kerja profesional, saya sekarang ada di level staf khusus Kepresidenan, saya staf khusus paling muda dari 12 staf khusus Presiden SBY. Secara pribadi, saya dan istri telah pula menunaikan ibadah haji tahun lalu.

Yang saya belum selesaikan adalah tugas pemberantasan mafia hukum dan korupsi dan saya sudah mulai perjuangan itu (melawan mafia hukum) sejak mahasiswa. Kita punya berbagai kelompok diskusi. Tahun 2000, kami membentuk Indonesian Court Monitoring. Idenya sama dan  menjadi embrio pemikiran keberadaan Satgas sekarang. Tahun 2006, saya membentuk Pusat Kajian Anti-Korupsi di UGM. Baru di tahun 2008 akhir, saya bergabung ke istana Presiden.

Mengapa sejak dulu concern ke mafia peradilan?

Saya menjadi mahasiwa di tahun 1991-1995. Tidak sulit memotret bahwa korupsi, kekuasan yang korup, peradilan yang bobrok, kala itu sudah ada dan sangat merusak. Saya beruntung mempunyai lingkungan belajar yang terus mengasah empati dan kegelisahan untuk terus melawan ketidakadilan berbentuk dajal koruptor dan mafioso hukum.  Rekan-rekan saya sampai sekarang terus menjaga idealisme mereka, tetap memiliki cita-cita untuk Indonesia yang lebih baik.

Biasanya kalau punya waktu senggang dihabiskan untuk apa?

Anak saya yang pertama senang main bola sehingga kami, saya dan istri, selalu menonton pertandingan dia. Meski saya jarang nonton bola di TV, karena masalah waktu. Anak saya yang kedua menjadi dokter kecil dan senang kesenian. Waktu senggang saya manfaatkan untuk keluarga, untuk menemani mereka menikmati hobi dan kegemarannya.

Saya sendiri tidak punya hobi khusus. Tapi saya senang berkumpul bersama sahabat-sahabat apalagi di tempat yang rekreatif. Misalnya, pergi  bareng dengan keluarga dan teman kantor ke pantai, main voli pantai, tarik tambang di pantai. Bagi saya itu refreshing yang menyegarkan, sayangnya saya tidak dapat terlalu sering melakukannya.

Pernah ada yang menawari jabatan lain atau bisnis tertentu?


Saya tidak bakat berbisnis. Tawaran posisi dan materi pasti ada. Tetapi untuk menjaga imparsialitas, independensi serta profesionalitas yang tak terbeli, yang nihil dari benturan kepentingan, tawaran-tawaran demikian tentunya saya tolak.

Nama : Denny Indrayana
Lahir: 11 Desember 1972, Pulau Laut, Kota Baru, Kalimantan Selatan
Jabatan:
* Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
* Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN
* Dosen di sejumlah kampus seperti UGM, UII, UMY

Pendidikan:
* Doktor, The University of Melbourne, Australia, 2003–2005
* Master, University of Minnesota, Amerika Serikat, 1999–2001
* Sarjana, Ilmu Hukum, UGM YOGYAKARTA, 1991–1995

Penghargaan:
* Legal Icon 2009, Majalah Gatra, Desember 2009
* Australian Alumni Award 2009

(SINDO//mbs)


Sumber :http://news.okezone.com/read/2011/01/30/154/419494/154/denny-indrayana-jangan-beri-ruang-kejahatan-konspiratif

Tidak ada komentar: