Selasa, 22 Februari 2011

Kita Negara Gagal Bukan Menuju Gagal


JAKARTA - Mengapa masyarakat kita mudah diprovokasi untuk melakukan kekerasan? benarkan kita sudah sedemikian beringas sehingga tega membantai saudara sendiri, seperti yang terjadi di Cikeusik beberapa waktu lalu?

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo mengatakan, kita sebenarnya sudah negara gagal bukan menuju negara gagal. Sebab, pemerintah yang punya hak monopoli melakukan kekerasan justru tidak bisa mencegah warganya menggunakan kekerasan terhadap sekelompok warga lain. Berikut petikan wawancaranya dengan Okezone, Kamis (17/2/2011).

Bagaimana tanggapan bapak terhadap keberingasan massa dalam menyelesaikan perbedaan sekarang ini?

Justru itu yang paling mengkhawatirkan, kekerasan dan kemudian keberingasan. Kalau dibiarkan keberingasan itu akan terus berkembang. Sekarang terutama persoalan bangsa kita prioritas utama kekerasan harus dihentikan. Pertengkaran antar kelompok ada prosesnya sendiri, misal kekerasan agama, bagaimana pemimpin agama berdialog, bersilaturahmi segala macam. Silahkan mereka melakukan itu. Tapi nomor satu, pemerintah menjamin tidak ada satu golongan pun boleh melakukan kekerasan dalam pertengkaran itu. Pertengkaran itu sih biasa dalam masyarakat plural, tapi tidak boleh dilakukan dengan kekerasan.

Kalau hanya adu pendapat bila perlu ke pengadilan tidak apa-apa, itu kenyataan hidup. Tapi kalau kekerasan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Yang berhak menghentikan kekerasan hanya pemerintah, pemerintah mempunyai hak monopoli melakukan kekerasan. Kalau tidak bertindak, maka dua kali kesalahannya, pertama mengapa rakyat biasa melakukan kekerasan kedua mengapa pemerintah tidak bertindak terhadap orang yang melakukan kekerasan. Ini terbalik-balik.

Dalam kasus Cikesuik, ada pelaku kekerasan yang dengan santai mengabadikan adegan kekerasan dengan kamera ponsel, fenomena apa ini?

Ada orang secara psikologis takut atau tidak tega melihat seperti itu. Tapi ada yang senang melihat, itu persoalan sangat pribadi saya kira.

Bagaimana membangun kolektifitas masyarakat agar tidak mudah menghakimi kelompok yang berbeda?

Caranya banyak, membangun sistem keamanan nasional. Bagaimana peran polisi, militer, semi militer segala macam. Harus ada sistem yang efektif. Dan harus ada standar jelas, begitu ada kekerasan harus ada yang bertanggungjawab, misalnya pejabatnya dikenai sanksi tegas. Jangan memecat itu dianggap kehebatan tetapi sudah standar pasti. Termasuk ya sistem deteksi dini seperti intelijen, harus dipecat kalau ada sesuatu kan mestinya dia tahu, diberi dana dan dikasih jabatan kok. Tidak boleh meneteskan darah rakyat itu, setetes pun ada harganya. Maksud saya jangan ada pembenaran bahwa ooh ini korbannya sedikit.

Apakah bapak setuju dengan pendapat kita menuju negara gagal?

Itu jelas, tugas rakyat melindungi rakyat nyatanya tidak dilindungi. Kita sudah gagal bukan menuju gagal. Tapi bukan berarti harus mengganti pemerintah, karena kan kegagalan bisa diperbaiki. Pemerintah harus mau memperbaikinya sebelum masyarakat sebelum anarkistis. Pemerintah harus tanggap agar kegagalan yang sudah terjadi tidak melebar tapi ditutup dengan keberhasilan.

Misalnya tegas terhadap yang melakukan penyiksaan dan bertindak tegas terhadap pejabat yang kecolongan itu suatu koreksi yang baik. Pemerintah memperabaiki undang-undang ketahanan nasional itu juga aktif. Dan dalam hubungan antar agama, pemerintah tak boleh terlalu ikut campur dalam bagaimana masyarakat itu berinteraksi.

Misalnya SKB tiga menteri harus direvisi ataupun bila perlu dihapus saja karena dia mengatur bagaimana masyarakat berbeda agama itu berhubungan. Kalau itu diatur dengan persyaratan tertentu, itu malah mempersulit. Serahkan saja secara sosiologis di lapangan, bagaimana masyarakat berinteraksi sendiri. Misalnya pendirian rumah ibadah biar masyarakat negosiasi sendiri, asal tak boleh pakai kekerasan. Tapi tak boleh diatur pasal-pasal yang membingungkan di lapangan nantinya. Kadang pemerintah ikut campur terlalu banyak tapi juga ada pembiaran jadi serba kacau. Saya kira perlu ditinjau lagi semua seperti apa pengaturan antar golongan ini, jangan hanya legalistik tapi juga sosiologis bagaimana keadaan masyarakat ini.

Artinya tidak boleh hanya berdasarkan tinjauan hukum semata-mata?

Betul, harus ada tinjauan sosiologis sehingga aturan itu betul-betul cocok bagi masyarakat kita. Karena ahli hukum itu kan banyak juga yang tidak tahu sosiologis masyarakat. (abe)

Sumber ; http://news.okezone.com/read/2011/02/17/62/425567/kita-negara-gagal-bukan-menuju-gagal

Tidak ada komentar: