Selasa, 22 Februari 2011
Penolak Bakrie Award Isi Hari Tua dengan Melukis
TIBA-TIBA saja nama mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mencuat sekira akhir Juli kemarin. Sosok mantan pejabat di era kepemimpinan Soeharto ini membuat sebuah keputusan yang sedikit orang mau melakukannya.
Daoed menolak sebuah penghargaan dengan kategori pemikiran sosial yang diberikan oleh Freedom Institute. Sebuah penghargaan yang diberi nama Bakrie Award 2010. Padahal selain penghargaan, Daoed juga bakal menerima sejumlah uang.
Apa alasannya?
"Alasan saya menolak karena nurani saya tidak bisa menerima. Ya Bakrie itu kan yang menimbulkan bencana lumpur Lapindo. Itu kan karena usaha bisnisnya itu," ujar Daoed Joesoef kepada okezone saat ditemui di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan, akhir Juli 2010.
Penolakan tersebut diungkap Daoed tanpa perlu berpikir lama-lama dan matang. Sejak pertama kali dihubungi oleh pihak penyelenggara Bakrie Award, Daoed dengan tegas telah menolaknya. Bahkan sikap itu tidak berubah, manakala utusan Bakrie Award mendatangi rumahnya yang berada di Jalan Bangka Dalam, Jakarta Selatan.
Dia juga menegaskan bahwa penolakan yang disampaikannya tersebut murni dari dirinya sendiri tanpa ada pengaruh apapun dan dari siapapun. Namun demikian dirinya tetap berterima kasih atas penghargaan yang diberikan oleh Freedom Institute.
"Saya katakan dari dulu sampai sekarang, saya berani melawan apa saja kecuali melawan nurani saya. Kalau nurani saya mengatakan tidak, maka saya harus berani katakan tidak," tegasnya.
Bersama Daoed, sastrawan Sitor Situmorang juga diberitakan menolak penghargaan yang disponsori oleh Yayasan Bakrie itu. Daoed dan Sitor merupakan dua tokoh yang mengikuti jejak Frans Magnis Suseno dan Gunawan Muhammad yang menolak dan mengembalikan penghargaan setahun sekali itu.
Begitulah ketegasan pria kelahiran Medan 8 Agustus 1926 silam. Walaupun usianya telah menginjak 83 tahun, ketegasan Daoed tidak berkurang. Dulu, pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ini sangat dikenal ketegasannya dalam dunia kampus. Saat itu Daoed mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan berpolitik.
Saat itu, Daoed berpendapat tugas utama mahasiswa adalah belajar bukan berkegiatan politik. Kegiatan politik hanya boleh dilakukan di luar kampus. Tindak lanjutnya, mantan menteri di Kabinet Pembangunan III 1978-1983 ini menghapuskan Dewan Mahasiswa di universitas-universitas di seluruh Indonesia, yang kemudian praktis melumpuhkan kegiatan politik mahasiswa.
Selepas mengemban jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kegiatan Daoed tidak lepas dari dunia pendidikan. Bersama putrinya juga, Daoed mendirikan sebuah Sekolah berbasiskan internasional yang diberi nama Sekolah Dasar Kupu-kupu. "Ini tahun keenam, sekarang sudah ada kelas enam dan masing masing satu kelas. Muridnya satu kelas maksimum 24 orang nggak boleh lebih itu, sudah standar UNESCO, fasilitasnya ya ada gedung fasilitas olah raga dan fasilitas bermain," ungkapnya.
Menurutnya, selain mengurus sekolah dasar berstandar internasional, dirinya memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu luangnya. "Saya masih tetap nulis dan membagi pengetahuan di bidang kedokteran, ekonomi, hukum, terutama pendidikan. Saya juga teratur menulis di Suara Pembaruan, dan kadang untuk Kompas," ujar Daoed.
Selain dari kedua kesibukannya membaca dan menulis tersebut, Daoed juga masih memiliki kesibukan lain dalam bidang seni rupa, yaitu melukis. Kesibukannya ini sebenarnya sudah dia tekuninya sejak dirinya hijrah dari kota kelahirannya Medan Sumatra barat pada tahun 1960 lalu. Awalnya pada waktu itu dirinya mengaku bahwa kebiasaanya melukis dia geluti karena semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pada waktu itu.
Dari pekerjaannya tersebut, bapak satu orang putri ini mendapatkan imbalan berupa uang yang nantinya dipergunakan untuk kebutuhan sehari-harinya. Dirinya mengaku bahwa keahliannya dibidang seni rupa ini bukan merupakan suatu bakat yang diturunkan dari orang tuanya, melainkan kebiasaannya sejak kanak-kanak dulu, semasa penjajahan Belanda.
Lukisan yang biasanya dia torehkan dalam sebuah kanvas tersebut adalah lukisan yang menceritakan keindahan alam yang ada di Indonesia, karena menurutnya imspirasi alam itu merupakan suatu karya yang sangat indah untuk dilukiskan. "Saya senang melukis alam, kan Sumatra pemandangan indah. Semuanya senang, kalau lagi melukis, ya semuanya(keluarganya) melukis," pungkasnya mantan Ketua Dewan Direktur CSIS.
Namun demikian lukisan yang dibuatnya tersebut tidak hanya dia nikmati sendiri melainkan dia tuangkan juga dalam sebuah pameran lukisan besar beberapa tahun yang lalu. Dan dari hasil lukisannya Daoed bisa membangun gedung sekolah dasar di halaman rumahnya di Jalan Bangka VII Dalam Jakarta Selatan.(hri)
Sumber:http://news.okezone.com/read/2010/08/02/157/358895/157/penolak-bakrie-award-isi-hari-tua-dengan-melukis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar