Kalau anda mampir ke kota Seoul, sempatkanlah waktu untuk menelusuri bantaran sungai Cheonggyecheon. Ini adalah aliran sungai kecil (water stream) kebanggaan masyarakat Seoul, yang mengalir sepanjang 10 km, dari barat ke timur, dan membelah kota Seoul. Sulit melafalkan Cheonggyecheon dengan benar, tapi Gaecheon dalam bahasa Korea artinya sungai yang terbuka.
Di sungai terbuka itu, saya merasakan aura sejarah yang panjang dari kecipak airnya. Aliran sungai Cheonggyecheon itu membawa banyak kisah, dari masa Dinasti Joseon, masa kolonial Jepang, kala perang Korea, hingga kurun industrialisasi Korea Selatan. Air di sungai Cheonggyecheon menjadi saksi perjalanan panjang tersebut. Menelusuri sungai itu, bukan sekedar menelusuri aliran air, namun juga menelusuri sejarah dan denyut kehidupan masyarakat Korea.
Cheonggyecheon di masa lalu adalah bantaran sungai yang digunakan sebagai sumber kehidupan masyarakat. Mereka mengambil air dan mencuci pakaian di sungai tersebut. Seiring dengan bertumbuhnya masyarakat dan dimulainya industrialisasi, populasi Seoul meningkat sehingga di bantaran kali tumbuh rumah-rumah kumuh. Munculnya wilayah komersial di kota Seoul menjadi masalah tersendiri dalam perencanaan urban, termasuk pengelolaan bantaran sungai.
Menurut cerita kawan yang bekerja di KBRI Seoul, beberapa tahun lalu, kawasan bantaran kali ini masih kumuh. Kalau malam tiba, beberapa wilayahnya rawan kejahatan. Lebih parah lagi, sejak tahun 1978, di atas sungai Cheonggyecheon itu dibangun jalan tol yang mengakibatkan kawasan sepanjang kali semakin padat. Masyarakat membangun kehidupan di bawah jalan tol, kepadatan lalu lintas meningkat, dan asap knalpot menjadikan polusi di kota Seoul semakin parah.
Adalah Walikota Seoul, Lee Myung Bak, yang kemudian menjadi Presiden Seoul, yang berani melakukan proyek rekonstruksi bantaran sungai Cheonggyecheon. Langkah pertama yang dilakukan adalah membongkar jalan tol yang berdiri di atas sungai Cheonggyeon. Jalan tol tersebut diruntuhkan, dan kawasan sungai direvitalisasi. Tentu saja, proyek ini mendapat kritikan keras dari masyarakat Seoul yang sudah merasa nyaman dengan keberadaan jalan tol tersebut. Para pedagang kaki lima yang selama ini berjualan di sepanjang bantaran sungai, juga memprotes pembangunan tersebut. Belum lagi kritikan dari masyarakat urban yang menganggap proyek senilai 386 miliar Won itu sebagai proyek sia-sia. Tapi Lee Myung Bak jalan terus, dan proyekpun dimulai dari tahun 2003 hingga 2005.
Lima tahun telah berlalu sejak proyek itu diresmikan. Terlepas dari untung ruginya, pagi itu saya merasakan bahwa masyarakat Seoul kini justru bangga dengan keindahan aliran sungai Cheonggyecheon. Menelusuri bantaran sungai itu, adalah juga menelusuri sebuah karya seni. Di Cheonggye Plaza yang terletak di ujung sungai, anda akan menemukan sebuah karya seni yang bertema “Spring”. Ini adalah bentuk kerang spiral warna warni yang berdiri vertikal hingga 20 meter. Instalasi karya artis pop Amerika tersebut menjadi pusat perhatian masyarakat yang berkunjung ke Cheonggyecheon. Berjalan terus menyusuri sungai ini, anda akan menemukan banyak tempat menarik, mulai dari pasar loak hingga pusat-pusat perbelanjaan dan bermacam restoran.
Ada tiga tema yang saya temukan saat menyusuri sungai Cheonggyecheon. Pertama adalah ekologi. Menyusuri sungai ini kita akan menemukan kesegaran aliran air, tumbuh-tumbuhan, bunga-bunga, burung, dan tentu, ikan-ikan kecil di sungai. Tema kedua adalah indahnya berjalan kaki. Sungai Cheonggyecheon memang menyediakan area yang luas di pinggirnya bagi pejalan kaki untuk menyusuri sungai ini.
Tema ketiga adalah romantisme. Tak pelak lagi, bantaran sungai Cheongyecheon adalah tempat romantis untuk memadu kasih. Saya melihat pasangan muda mudi Korea yang sedang berasyik masyuk memadu pandang dan wajah. Mereka berpelukan sembari duduk-duduk di pinggir sungai. Kaki mereka dicelupkan ke dalam air, mendengarkan kecipak sungai, dan menikmati aura kasih yang muncul di antaranya. Kala malam tiba dan semakin larut, aura kasih semakin banyak dijumpai.
Membangun kawasan ramah lingkungan di tengah hiruk pikuk kota adalah sebuah hal yang tak mudah. Di kota Jakarta, saya dibesarkan di bantaran kali Jiung dan Ciliwung. Airnya yang hitam dan WC mengapung di pinggir kali menjadi pemandangan sehari-hari. Lebih dari 30 tahun berlalu, kawasan kali Jiung dan Ciliwung belum banyak berubah, walau upaya perbaikan mulai dilakukan. Upaya merevitalisasinya tentu butuh keberanian dan biaya yang besar.
Langkah berani Lee Myung Bak sebenarnya pernah dilakukan oleh Gubernur DKI Sutiyoso saat membangun jalur busway dan merevitalisasi taman monas. Mereka dikritik keras karena kebijakannya yang dianggap mengganggu kenyamanan. Namun, setelah proyek itu selesai, masyarakat justru mengapresiasi.
Pembangunan wilayah urban memang tidak hanya membutuhkan konsep. Namun ia juga membutuhkan ketegasan dan keberanian politik, terutama untuk tidak menjadi populer.
Dari keindahan dan kecipak air di sungai Cheonggyecheon, kita belajar tentang bagaimana sulitnya membangun masyarakat perkotaan, dengan segala aneka ragam keinginan. Tapi, satu hal yang pasti, di antara tumbuhnya bangunan-bangunan beton, masyarakat tetap mendambakan hakikat asalinya yang selalu ingin dekat dengan alam
lokasinya ada di Seoul, Korea Selatan.
sebenernya ini dulunya sungai yang dipake buat nyuci baju sama mandi, sama kaya di indonesia
perkembangannya tahun 1950an dibangun jalan layang diatasnya
akhirnya jalannya dihancurin pas tahun 2003
pilar bekasnya jalan dulu juga ada yang dipertahankan
Suasana Siang Hari
Suasana Malam Hari
Video Stream
Sumber : kaskus.us
Tidak ada komentar:
Posting Komentar