Senin, 21 Februari 2011

Potret Buram Ekspor-Impor

Foto: Tangguh Putra/okezone
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010 sebesar 6,1 persen, tetapi angka pertumbuhan ekonomi belum dinikmati secara merata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, angka pengangguran masih tinggi, sebesar 8,32 juta jiwa.

Agar kue pembangunan dinikmati merata dan untuk menekan angka pengangguran diperlukan pembenahan berbagai sisi untuk meningkatkan pertumbuhan investasi dan ekonomi. Pembenahan memerlukan akselerasi.

Di antaranya pembangunan infrastruktur antarpulau untuk mengintegrasikan potensi ekonomi sebagai kesatuan ekonomi nasional yang notabene negara kita adalah negara kepulauan. Indonesia mempunyai sumber daya alam (SDA) yang melimpah, tetapi pemanfaatannya masih tergantung pada impor yang tinggi dan ekspor yang belum diolah sehingga mempunyai nilai tambah yang masih rendah.

Berdasarkan data BPS (September 2010), nilai impor Indonesia selama Januari– Juli 2010 mencapai USD75,56 miliar yang terdiri atas nonmigas mencapai USD60,33 miliar (79,84 persen) dan impor migas mencapai USD15,23 miliar (20,16 persen).

Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar ke Indonesia selama Januari–Juli 2010 masih ditempati oleh China,diikuti Jepang dan Singapura. Komposisi impor yang diperinci menurut golongan penggunaan barang adalah: barang konsumsi (7,40 persen), bahan baku/penolong (72,90 persen), dan barang modal (19,70 persen).

Tingginya komposisi impor bahan baku/penolong dan barang modal menunjukkan bahwa Indonesia harus segera mengurangi impor dengan membangun investasi di dalam negeri. Melakukan impor di mana bahan dasar tidak tersedia di dalam negeri adalah suatu keharusan, tetapi melakukan impor saat bahan dasarnya melimpah menunjukkan bahwa kita belum menjadi bangsa yang kreatif.

Begitu juga mengekspor barang mentah dan setengah jadi sehingga yang menikmati nilai tambahnya adalah bangsa lain, ini menunjukkan bahwa kita belum menjadi bangsa yang inovatif.

Potret Buram
Berikut ini adalah beberapa contoh potret buram impor dan ekspor negeri ini yang untuk mengurai benang kusutnya diperlukan kerja keras yang terarah dan berkesinambungan oleh pemerintah dengan dukungan BUMN dan swasta.

Pertama, sektor industri perikanan dan garam. Pada 2010, Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar ketiga dunia di bawah China dan Peru (Dahuri, 2011), tetapi bahan baku pakan ikan seperti tepung ikan masih impor dari Cile dan Peru.

Di samping itu, Indonesia juga masih mempunyai ketergantungan impor induk dan benur udang vaname dari AS. Sekalipun Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai garis pantai sekira 90 ribu km dan terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai waktu panas lebih lama, tetapi kebutuhan garam untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan dan minuman,serta industri kimia masih harus bergantung pada garam impor dari Australia, Jerman, dan India. Kedua, sektor industri ban.

Pada 2009, Indonesia adalah produsen karet nomor tiga dunia setelah Thailand dan Malaysia dan diperkirakan akan menjadi produsen terbesar di dunia. Sekitar 70 persen karet dimanfaatkan untuk industri ban, sedangkan sisanya untuk industri automotif, industri pipa, selang, alas kaki, dan yang lainnya.

Sekalipun sebagai salah satu produsen karet terbesar dunia, industri ban dalam negeri masih tergantung pada impor bahan baku lain seperti rubber chemical, carbon black, bed wire, butadiene.

Kita mempunyai pabrik baja besar seperti Krakatau Steel, tetapi belum mampu memproduksi bed wire. Kita mempunyai kilang minyak dan gas yang menghasilkan produk turunan ethane, propane, butane dan naphta sebagai bahan baku (feedstocks) industri petrokimia yang dapat menghasilkan produk turunan butadiene.

Produk tersebut dapat diolah lebih lanjut menjadi acrylonitrile butadiene styrene (ABS), styrene butadiene latex (SBL), dan styrene butadiene rubber (SBR) sebagai karet sintetis yang merupakan bahan campuran pembuatan ban. Ketiga, sektor industri oleokimia.

Pada 2009, Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Akan tetapi Indonesia masih ketinggalan dengan Malaysia dalam industri oleo-kimia (oleo-chemical) yang merupakan produk turunan (derivatif) dari CPO seperti mentega, cocoa butter extender, antioxidant, biodiesel.

Indonesia hanya menguasai pasar oleo-kimia dunia sebesar 12 persen, sedangkan Malaysia 18,6 persen. Padahal industri oleo-kimia adalah industri strategis yang memberikan nilai tambah (added value) lebih dari 40 persen dibanding CPO.

Produk derivatif CPO diperkirakan tak kurang dari 150 produk turunan baik pangan maupun nonpangan, tetapi industri di Indonesia hanya mampu memproduksi 10 jenis produk turunan CPO. Keempat, sektor industri pertambangan. Indonesia adalah negara pengekspor bijih bauksit, tetapi Inalum sebagai produsen aluminium masih mengimpor bahan baku smelter grade alumina yang merupakan produk olahan bauksit dari negara lain.

Produksi Inalum 40 persen dijual di pasar domestik, sedangkan 60 persen sisanya diekspor.Padahal untuk memenuhi kebutuhan aluminium dalam negeri, Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain. Indonesia juga adalah negara pengekspor konsentrat tembaga dari Freeport dan Newmont Nusa Tenggara dan katoda tembaga dari Gresik Copper Smelter. Akan tetapi produk turunan tembaga seperti pipa,kawat kabel, tubing, dan bahan baku peralatan rumah tangga masih impor.

Nilai impor tembaga tahun 2010 mencapai USD840,7 juta. Juga Indonesia adalah negara pengekspor nickel  ore, nickel mattedari Inco dan ferro nickel dari Antam, tetapi baja tahan karat (stainless steel) dan baja paduan masih impor. Untuk komoditas tambang lainnya, Indonesia adalah pengekspor barang mentah dan setengah jadi, sedangkan produk-produk manufaktur yang menggunakan bahan baku material barang tambang tersebut masih impor. Kelima, sektor energi.

Pada 2010 Indonesia adalah eksportir batu bara nomor dua dunia setelah Australia (IEA, 2010) dan eksportir LNG (liquefied natural gas)nomor tiga dunia setelah Qatar dan Malaysia. Akan tetapi pemanfaatan energi masih sebatas komoditas dagang,bukan sebagai energi untuk menggerakkan roda pembangunan di dalam negeri sehingga yang mengalami akselerasi roda pembangunan adalah negara lain.

Sebagai contoh, salah satu negara importir LNG dari Indonesia adalah China dengan tujuan Provinsi Fujian. Di Fujian sekarang sedang berlangsung pembangunan besarbesaran, termasuk di antaranya adalah telah beroperasinya pabrik baja tahan karat di mana bahan bakunya adalah bijih nikel dan energinya impor dari Indonesia.

Prioritas Pembangunan Infrastruktur

Indonesia adalah negara kepulauan yang dipisahkan oleh laut, berbeda dengan negara lain yang satu daratan, sehingga prioritas pembangunan infrastruktur adalah infrastruktur antarpulau untuk mengintegrasikan kepulauan seolah- olah menjadi satu daratan, seperti memperbanyak dan memperbesar kapasitas pelabuhan laut dan udara. Prioritas lainnya adalah pembangunan interkoneksi jaringan transmisi listrik antarprovinsi, karena transmisi listrik adalah transmisi energi yang merupakan urat nadi untuk akselerasi roda pembangunan.

Pembangunan transmisi listrik dimulai dari wilayah daerah pantai, karena daerah pantai adalah pintu masuk pertama kegiatan ekonomi antarpulau. Dengan adanya interkoneksi transmisi listrik antarprovinsi, lokasi pembangunan pembangkit listrik lebih fleksibel dan lokasi pembangkit bisa mendekati sumber energi.

Pemerintah telah bekerja keras untuk mempercepat program pembangunan infrastruktur, tetapi program tersebut harus dipahami sampai level pelaksana, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pemerintah menganggarkan untuk program pembangunan infrastruktur dalam jumlah sangat besar, tetapi anggaran tersebut harus tepat sasaran,sesuai dengan skala prioritas,dan terarah.

Peran BUMN

Untuk akselerasi roda pembangunan, BUMN harus mengambil peran besar karena BUMN mempunyai modal yang kuat untuk melakukan investasi dan BUMN adalah tangan pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakannya. Belajar dari China, BUMN yang berperan besar melakukan investasi besar-besaran demi kemandirian nasional dengan mengurangi impor dan meningkatkan nilai tambah ekspor, termasuk penguasaan teknologi.

Pada 2010, majalah Fortune memasukkan 46 perusahaan China yang mayoritas BUMN dalam jajaran perusahaan raksasa dunia. Di World Economic Forum (WEF) di Davos Swiss pada Januari 2011, para pebisnis dan akademisi mengagumi keajaiban perekonomian China. Produk domestik bruto (PDB) negara ini pada 2010 menempati peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat, padahal pada 2009 masih menempati peringkat ketiga dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Rakyat Indonesia yang masih jadi pengangguran dengan jumlah 8 juta lebih menunggu lapangan kerja untuk menghidupi keluarga dan sanak saudaranya. Kita trenyuh ketika mendengar berita penyiksaan TKW di luar negeri. Kita ingat apa yang disampaikan mantan Menristek dan Presiden BJ Habibie di depan Komisi I DPR pada bulan Januari, “Kalau kita mengimpor, maka kita membayar jam kerja orang lain bukan membayar jam kerja rakyat sendiri.” Kemandirian nasional adalah untuk generasi mendatang.(*)

Mudi Kasmudi
Alumnus ITB dan
UI, Praktisi Energi dan
Industri Pertambangan


sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/02/17/279/425674/potret-buram-ekspor-impor

Tidak ada komentar: